Masjid, Dahulu Dan Sekarang

Senin, 13 Januari 2020
Penulis:

1690 kali dilihat

39 kali dibagikan

Dahulu.. setiap lepas maghrib, masjid dan surau di perkampungan saling bersahutan suara anak-anak mengaji. Namun kini, satu persatu masjid menjadi kian sepi, jamaah sholat lebih banyak diisi oleh orang-orang yang sudah lansia. Adapun masjid-masjid di perkotaan, saat itu lebih sepi dan tidak ramai anak-anak mengaji, maka kala itu banyak orang lebih memilih untuk tinggal di perkampungan karena suasananya terasa lebih Islami, lebih banyak majelis-majelis ilmu baik untuk kalangan anak-anak, remaja, bapak dan juga Ibu.

Kini, suasana seakan menjadi terbalik. Masjid-masjid di perkotaan terlebih di kawasan perumahan kini nampak lebih ramai dibanding masjid di perkampungan. Saat tiba waktu sholat shubuh misalnya, shaf sholat berjamaah di masjid perkotaan terisi berderet-deret layaknya sholat jumat. Namun kenyataan lain, kondisi  shaf sholat berjamaah di masjid perkampungan paling hanya satu atau dua baris saja.

Bapakku tinggal di salah satu perkampungan di Kabupaten Bandung. Dahulu, lepas maghrib sampai Isya masjid selalu ramai dengan anak-anak mengaji, mereka diajari oleh para Ustadz muda yang merupakan para pemuda di kampung. Para pemuda pun kerap mengadakan acara-acara keagamaan bagi masyarakat sekitar terutama dalam menyambut hari-hari besar keagamaan seperti Isra Miraj, Maulid, Muharam, Tarhib Ramadhan, dll. Kini Masjid hanya ramai saat sholat jamaah saja, namun shaf semakin maju ke depan, paling satu atau dua baris saja. Lepas maghrib hingga Isya juga tidak ada lagi anak-anak yang mengaji, hanya sekali saja dalam sepekan diisi oleh pengajian yang isinya Bapak dan Ibu-ibu yang sudah berumur. Para pemuda banyak yang hijrah ke kota meninggalkan kampung, untuk sekolah atau bekerja dan mengadu nasib di kota. Anak-anak binaannya dahulu, seakan tak mampu menjadi penyambung perjuangan meramaikan masjid. Entah mengapa, mungkin karena kondisi zaman yang berbeda, terlalu banyak gempuran budaya luar yang hadir yang tak mampu dibendung yang pada akhirnya mengubah wajah anak-anak dan pemuda di kampungku yang kini lebih senang berlama-lama dengan smartphonenya. Itu menjadi keresahan Bapakku kini, kekhawatiran jika masjidnya makin lama akan semakin sepi. Jika generasi seumurnya sudah meninggal, apakah masih ada yang akan memakmurkan masjidnya?.

Tidak berbeda dengan kondisi Masjid di kampung Bapak, hal yang serupa juga terjadi di Masjid kampung mertua. Bapak mertua tinggal di salah satu perkampungan di Kabupaten Lebak Banten. Ia memiliki keresahan yang sangat akan masa depan masjid di kampungnya, sulit sekali untuk mengkader bapak-bapak atau para pemuda untuk menjadi Ustadz yang dapat menjadi Imam sholat atau Khatib. Hanya Ia dan satu orang Bapak yang juga sudah tua yang selalu diandalkan untuk menjadi imam ataupun khatib saat sholat jamaah fardhu dan sholat jumat. Namun, ketika mereka tidak ada, seringkali jamaah kembali pulang dari niat untuk sholat berjamaah kala tidak ada salah satu dari mereka. Bapak seringkali tidak tenang kala berkunjung ke anak-anaknya di kota yang berbeda, karena khawatir tidak ada sholat jumat di kampungnya, maka Bapak selalu enggan berlama-lama tinggal di anaknya, ingin segera kembali pulang untuk menunaikan tugasnya.

Potret di atas mungkin tidak hanya terjadi di kampungku saja. Coba tengok kondisi masjid di kampung anda. Apakah terjadi hal yang sama? Jika iya, maka ini haruslah menjadi keresahan bersama. Bapak sering bilang bahwa Ustadz di perkotaan itu sudah banyak, kini yang sulit adalah mencari Ustadz di perkampungan. Pernyataan ini seolah menjadi pukulan bagiku, ya.. meski aku sendiri bukan seorang Ustadz atau ahli ilmu agama, tapi ini mengusik kalbuku, tentang kewajiban amar ma’ruf nahyi munkar bagi setiap muslim, juga mengusik nuraniku, jangan-jangan ini masih menjadi PR bagiku, jangan-jangan ini karena ketidakberhasilanku mencetak kader-kader penerus yang bisa memakmurkan masjid.

Jika dulu, degradasi moral seperti adanya hubungan yang bebas antara remaja menjadi potret remaja perkotaan, maka kini dengan dunia yang semakin di genggaman remaja melalui telepon pintarnya, kondisi ini kerap ditemui di kalangan remaja-remaja perkampungan. Bisa jadi dari sepuluh pernikahan yang terjadi di perkampungan 30 hingga 50 persennya terjadi karena kasus hamil di luar nikah yang kemudian memaksa mereka untuk menikah. Kasus lain pun seperti mabuk-mabukan, judi, geng motor, sabung ayam hingga tawuran juga menjadi potret yang menimpa remaja dan pemuda di perkampungan. Dan ini.. tentulah harus menjadi perhatian kita bersama.

Tinggal di perkotaan bukanlah hal yang terlarang. Namun bisa jadi, jika banyak orang cerdas dan juga memiliki ilmu agama yang baik tinggal di perkotaan, maka siapa yang akan meramaikan kampung, siapa yang akan membangun kampung, siapa yang akan melepaskan kemiskinan dan masalah-masalah di kampung kita. Ada baiknya, keluasan ilmu serta keluasan rizki yang kita miliki, kita gunakan untuk membangun kampung-kampung kita, untuk kembali meramaikan masjid-masjid di kampung kita. Maka Pemuda… kembalilah ke kampung… bangun kampung kalian… dengan ilmu dan harta yang kalian miliki. Ingatlah bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang paling banyak memberi manfaat..

Bagaimana caranya…?

Ada banyak cara sebetulnya… Bisa jadi kita tidak perlu meninggalkan kota dan pekerjaan yang kita miliki saat ini untuk sepenuhnya pindah ke kampung. Namun luangkan waktu khusus dan rutin untuk kembali, untuk membina, untuk membangun. Jadikanlah pembinaan di kampung, pembinaan remaja, pembinaan masjid, membuka usaha di kampung untuk meningkatkan produktifitas pemuda kampung menjadi salah satu project amar ma’ruf nahyi munkar kita. Bangun jaringan dengan para pemuda dari kampung yang sama yang telah sukses di kota untuk menggoalkan tujuan ini. Karena bisa jadi, dengan kebersamaan hal ini akan menjadi lebih mudah.

Cara yang lebih ekstrem adalah tinggalkan kota.. lepas pekerjaan di kota dan pindahlah ke kampung. Cara ini mungkin tidak semua orang sanggup mengambilnya, terlebih telah banyak tuntutan dan kebutuhan dalam hidup. Namun, hal ini juga bukan menjadi hal yang tidak mungkin. Ada teman kuliahku, dia dan suaminya memutuskan untuk tinggal di kampung halamannya. Untuk membangun kampung halamannya, meninggalkan jabatan dan pekerjaan di pusat kota. Satu dua bulan pertama memang sempat terseok-seok, karena memang tidak mudah untuk memulai kembali sesuatu, atau untuk cepat beradaptasi dari kondisi yang sudah stabil. Namun kini, setelah sekitar dua tahun berlalu, ia dan suaminya menjadi tokoh yang sangat penting di kampungnya, bahkan lebih dari itu, menjadi tokoh penting di kotanya. Dimulai dengan membuka tempat bimbingan belajar dan konsultan Pendidikan kemudian membuka juga rumah tahfidz. Kini.. banyak orang tua yang memberi kepercayaan pada lembaganya untuk mendidik anak-anak bimbel, banyak sekolah-sekolah di kotanya yang juga memberikan kepercayaan pada lembaganya untuk menjadi konsultan Pendidikan serta menjadi konsultan untuk pengembangan bakat siswanya, dan kini ratusan kelompok pengajian tahfidz anak dan ibu-ibu telah ia bangun yang terdiri hampir seribu santri tahfidz. Masya Allah.

Jadi.. langkah apa yang akan dipilih… ??

Mari kita ramaikan kembali Masjid di kampung.. !!

 

 

Lia Dahliantini

ASN Kementerian Agama