Motivasi Sufistik: Pesantren Transformatif Ukhrowi

Senin, 03 April 2023
Penulis:

121 kali dilihat

41 kali dibagikan

Pesantren adalah salah satu contoh lembaga pendidikan tradisional atau modern, klasikal bahkan Lembaga Pendidikan Legal Formal, yang para siswanya (disebut santri) belajar di bawah bimbingan kyai dan memiliki asrama/kobong untuk tempat menginap para santri, bahkan ngalong dengan kurikulum tertentu yang sudah ditetapkan pihak pesantren.

Penulis menguatkan definisi pesantren transformatif adalah, konsep kehidupan sebagai kawah candra dimuka sebagai tempat belajar, subjek pendidikannya adalah setiap jiwa yang diberikan kecerdasan akal (manusia).

Setiap waktu, adalah waktu untuk manusia belajar, baik yang terlihat sistematis atau random. Silabusnya ditentukan oleh ujian dari Allah.

Naik kelas, remidi, atau tinggal kelas ditentukan dari sikap manusia apakah ia ridho dan ikhlas dari ketetapan Allah atau tidak?. Boleh jadi ujian hadir di luar dari diri manusia, bahkan dirinya ujian bagi dirinya sendiri.

Perjalanan terpanjang menikmati pesantren transformatif adalah, bukan seberapa jauh ia mondok di luar dirinya, namun dibarengi kehidupan ini dan segala kejadian yang Allah hidangkan, untuk mendapati pelajaran yang sejati dengan cara meniti ke dalam diri.

Pesantren transformatif ini dimulai, sejak manusia betul-betul belajar menyempurnakan akal dan hatinya.
Ada lima sudut pandang guru dalam pesantren transformatif :
1. Maha Guru Allah SWT
2. Guru secara biologis, adalah orang tua secara genetik
3. Guru secara sosiologi, Makluk Allah yang berakal yang menjadi jalan pertolongan Allah.
4. Guru semesta, jagad raya di luar tubuh manusia, dan jagad raya di dalam diri manusia.
5. Guru psikologis/ mental yaitu jiwa sebagai kendaraan ruh manusia.

Tujuan dari transformatif ini adalah menjadikan manusia, sebagai abdillah paripurna sesuai versinya masing-masing, dan mempercantik semesta yang sudah cantik ini. Sehingga, kebergunaan manusia di ruang kehidupan menjadi angka kredit diri sebagai cara mengetuk rahmat Allah. Maka semakin berguna seseorang, maka hidupnya semakin bernilai.

Konsep agama dalam wujud soleh ritual, atau soleh sosial dengan ejawatah karya, menciptalan tools yang dapat memberikan kemudahan pada peradaban, research, dll. Sehingga terciptalah seni komunikasi dalam bentuk ilmu, pengetahuan, sains, teknologi dan pemutakhiran global. Kemudahan-kemudahan yang diciptakan manusia ini, bahkan tidak hanya dinikmati oleh kelompok tertentu bahkan semua makluk Allah. Sebab manusia diutus ke dunia untuk berkontribusi, menjadi kepanjangan tangan Allah SWT, mempercantik semesta ini.

Maka penanaman nilai, sebanding lurus dengan lapisan kesadaran yang dimiliki manusia. Sebab pesantren transformatif mengajarkan leaning to do (mengalami), yaitu merasakan langsung nilai-nilai kehidupan pada sekolah yang mempunyai ruang legal formal, ataupun sekolah secara riil berhadapan dengan takdir Allah itu sendiri. Output berkehendak dari hasil belajar adalah perubahan.

Semester awal tak masalah hari ini merasa gelap, namun di balik gelap selalu meyakini di balik terowongan Allah siapkan cahaya untuk kita semua. Boleh jadi manusia dalam hidupnya, mengalami ‘La Ilaha”, namun penulis meyakini ujung dari kehidupan manusia akan berakhir dengan ‘illallah”.

Cahaya di sini difahami, manfaat dan kebermanfaatan. Dalam istilah sudah acapkali kita kenal; ’nulung ka nu butuh’, ‘nalang, kanu susah’, ‘nyaangan kanu poek’, ‘ngahudangkeun kanu sare‘, ’nepak kanu poho‘, dan ‘Nganterkeun kanu keuungan‘.
Syarat menjadi manusia ’nulung ka nu butuh‘, berarti diri kita harus punya keterampilan hidup, baik aspek kognitif, afektif, psikomotor, bahkan holistic.

Syarat menjadi manusia ‘nalang, kanu susah’, berarti diri kita secara hati dan pikiran harus tidak fakir. Harus terbuka pikiran dan hatinya. Sehingga manusia mempunyai cara berpikir witir (ganjil), out of the box.
Jangankan beda agama, bahkan satu kelompok beda tokoh agama sering dituding ditandai orang kiri, dan dirinya merasa paling tengah.

Maka jiwa harus betul-betul tidak ada kepentingan kecuali, menjadi bagian yang ingin dirahmati Allah SWT.

Syarat menjadi manusia ‘nyaangan kanu poek‘ berarti kita, harus menjadi cahaya (manfaat dan solutif bagi makluk Allah bahkan semesta alam). Sebab manusia yang ini dirinya berguna, akan selalu melibatkan diri, bukan ingin selalu dilibatkan.

Syarat menjadi manusia ‘ngahudangkeun kanu sare‘, syaratnya mengalami makom Al Falak (merobek kegelapan, rendahnya kesadaran), melalui menghadirkan fajar (menaikan kesadaran), masuk fase makom An Nas (menjadi manusia seutuhnya), sampai dititik keberserahan makom Al Ikhlas. Maka berserah itu tidak pasif, tapi massif.

Syarat menjadi manusia ‘nepak kanu poho‘, itu tidak dipahami akan selalu dalam keadaan waspada dan hati-hati tentu adakalanya manusia dalam keadaan lengah, bahkan maal khoto wanisyan (hilaf dan salah), atau jangan dipahami orang yang beriman pada Allah tidak punya masalah, namun berwasiat dalam kebenaran melalui berlomba-lomba dalam kebaikan itupun bagian dari fitrah.

Syarat menjadi manusia ‘Nganterkeun kanu keuungan”, syaratnya adalah meminimalisir salah sembah. Pastikan kita menyembah Allah, bukan hawa nafsu, jabatan, popularitas, intelektual, birokrasi dll.

Maka agar tidak merasa takut dalam kebaikan, penting bagi kita membersamai, dan memotivasi untuk teguh berada dalam ridho Allah SWT.
Sedikitnya penulis. Membuat jenjang semester di Pesantren Transformatif, membagi beberapa pertemuan : 1) Semester Penerimaan 2) Semester Ilusi 3) Semester cinta. Ketiga smester ini bisa kita rasakan secara secara sitematis, bahkan random.
Di semester penerimaan, boleh jadi kita lebih percaya pada pengetahuan yang populer, daripada kebenaran.
Menguras banyak waktu untuk sibuk menyalah-nyalahkan tanpa refleksi. Sehingga rasul berkata boleh jadi di antara dua orang yang berdebat yang saling mengkafirkan ada yang kafir salah satunya. Namun kafir menurut manusia belum tentu kafir di mata Allah.

Jadi agama itu bukan learning to know, tapi learning to do, supaya learning to be. Siroh orang-orang soleh di masa lalu, tidak jadi menjadi hafalan nama-nama, tapi sudah menjadi pengalaman diri. nama-nama surat dalam Alquran, tidak lagi sebagi urutan, namun level spiritual. Atau nama-nama nabi dan rasul tidak sebatas menghafal jumlah, tapi experience to being.

Di semester ilusi, kita akan dihadapkan kegalauan. Manakah yang benar dan salah menurut Allah? bukan ukuran kualitatif atau kuantitatif di empiris manusia semata. Sehingga semakin menua terkadang kita sulit membedakan; mana solah dalam kepalsuan, atau malaikat seakan-akan dalam kemasan penjahat.

Ada empat fase ilusi;
Kebohongan, dengan baju kebohongan;
Kebohongan, dengan baju kebenaran;
Kebenaran dengan baju kebohongan;
Kebenaran dengan baju kebenaran;

Sepintas kehidupan ini seperti paradoks, seakan-akan dihantui ketidakmungkinan, ketidakpastian dan kemustahilan.

Namun orang-orang yang hanya berserah pada Allah, boleh jadi salah di mata manusia, bahkan dalam tekanan manusia, dijauhi manusia sebab tidakan yang tidak umum, posisi kerjanya dipindahkan sebab dianggap berbahaya, justru boleh jadi yang kita pengaruhi orang lain dengan kedengkian kepadanya itulah yang diridhoi Allah. Wallahu’alam.

Di Semester Cinta ini, kita akan mengalami pengalaman spiritual. Berusaha menjadi hamba yang diutus Allah, menjadi jalan Rahman dan Rahimnya Allah dalam laku tindak. Selalu meyakini, tidak ada ciptaan Allah yang sia-sia, tidak ada ketetapan Allah yang buruk, dan tidak ada takdir Allah yang baik.
Sehingga, ia menikmati hidup ini dengan cinta yang Allah titipkan. Diam-diam sambil membaca isyarat dari Allah melalu pendekatan mindfullnes, kontemplasi, dan zikir. Meniti ke dalam diri, dan menata diri.

Sampai penulis bertanya-tanya dalam hati, dalam Alquran “Ruh pernah melaksanakan negosiasi dengan Allah sebelum ke alam dunia.” Pertanyaannya, perjanjian apakah yang di Acc Allah, sehingga memilih ruh kita untuk dipilih outbond, dalam kehidupan ini?.

Sehingga mudah baginya mendapatkan hidangan dari langit, tidak hanya santapan pikiran namun disertai santapan ruhani. Boleh jadi manusia seperti ini selalu mendapatkan hari raya, tanpa menunggu 1 Syawal. Betul-betul berupaya kembali pada kesucian (‘aidzin), agar mendapatkan kemenangan dari Allah (faizin).

Perjalanan pulang ke pangkuan Allah bagian dari kemegahan jiwa. Sejauh apapun kita kabur dari dunia ini, akhirnya akan kembali pada Allah SWT. Sehingga orang yang beriman (ruh yang selamat), akan mengEsa dengan Allah.

Jika sudah Meng-Esa dengan Allah, semoga takwa menjadi potret dan wujud nyata secara absolut setelah kita menjadi alumni manusia di dunia. Semoga semua kita bertemu di titik yang sama dalam belaian rahmat Allah. Laa Ilaha Illallah. Wallahu alam bishawab.

Nishfa Farid Rijal (Guru PAI SMKN 1 Pangandaran)