Pesantren, Nasibmu Kini

Kamis, 19 Desember 2019
Penulis:

242 kali dilihat

51 kali dibagikan

 

Tidak bisa dipungkiri, eksistensi pesantren sebagai Lembaga pendidikan, dakwah dan pemberdayaan masyarakat telah nyata mulai dari masa penjajahan. Kiprahnya tidak diragukan dalam mendidik masyarakat khususnya para pemuda sehingga mereka cakap dalam ilmu umum dan alim dalam ilmu agama. Para pemimpin Indonesiapun banyak yang terlahir dari rahim pesantren, diantaranya bahkan ada yang menduduki posisi teratas negeri ini yakni sebagai presiden. Pesantren pun telah terbukti sebagai garda terdepan dalam mengusir penjajahan di Indonesia, maka tidak heran jika di mata penjajah pesantren merupakan lumbung lawan yang paling ditakuti.

Dalam beberapa dekade terakhir pesantren mengalami perkembangan jumlah yang luar biasa dan menakjubkan, baik di wilayah pedesaan, pinggiran kota, maupun perkotaan. Data Kementerian Agama, menyebutkan pada 1977 jumlah pesantren hanya sekitar 4.195 buah dengan jumlah santri sekitar 677.394 orang. Pada Tahun 2019 jumlah pesantren di Indonesia sebanyak 27.734 dengan jumlah santri 3.642.738, maka terjadi peningkatan yang signifikan yaitu lebih dari 500% pesantren dalam empat dekade.

Text Box: Foto : diambil dari nu.or.id

 

Namun demikian, meskipun pesantren telah lama eksis menjalankan fungsi Pendidikan serta pertumbuhannya bak jamur di musim hujan, tetap saja keberadaanya masih termarjinalkan dibanding Pendidikan formal lainnya. Sebanyak 20% anggaran Pendidikan yang dialokasikan oleh pemerintah dalam APBN dan APBD, kiranya masih sangat kecil yang dapat dinikmati oleh pesantren. Karenanya, masih banyak pesantren di Indonesia jauh dari kata modern dan professional. Seringkali pesantren malah identik dengan kesan terbelakang, kumuh, dan kotor.

Kehadiran Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, kiranya memberikan angin segar bagi pesantren. Setidaknya dengan lahirnya Undang-Undang tersebut dapat dibaca sebagai: a) bentuk pengakuan negara terhadap pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam berbasis masyarakat, lembaga dakwah dan lembaga pemberdayaan masyarakat; b) afirmasi dari negara untuk mempermudah pesantren dalam menjalankan tiga fungsinya; c) agar pesantren terfasilitasi oleh negara; dan d) selain dari masyarakat, sumber pendanaan pesantren dapat berasal dari APBN dan APBD. Namun demikian, untuk memunculkan stigma positif di masyarakat tentu membutuhkan kerja keras dari pemerintah untuk mensosialisasikan undang-undang tersebut pada semua kalangan khususnya para pengelola/kyai pesantren. Kemunculan peraturan baru di tengah masyarakat kadang kala dipandang sebagai hal yang buruk, contohnya UU Pesantren ini, banyak kalangan yang malah menuduh pemerintah terlalu banyak campur tangan dalam urusan agama, seperti halnya dianggap campur tangan dalam urusan da’I, imam masjid, pengeras suara masjid, majelis taklim, dll. Tujuan yang baik seringkali ditangkap sebagai hal yang tidak baik manakala lemahnya sosialisasi dan pendekatan.

Merespon lahirnya Undang-Undang ini, Kementerian Agama perlu berlari kencang untuk menyiapkan semua peraturan turunannya baik Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Menteri sebagai pengejawantahan pelaksanaan undang-undang tersebut. Hal ini perlu mengingat undang-undang ini sangat singkat terdiri dari 55 Pasal yang memerlukan penjabaran lebih lanjut. Selain itu, keberadaan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan yang sebelumnya dijadikan sebagai rujukan tertinggi pengelolaan Pesantren, dengan lahirnya UU tersebut maka perlu dikaji kembali apakah PP ini masih dapat dijadikan sebagai rujukan mengingat apabila ditelisik lebih dalam terdapat beberapa pasal yang  memungkinkan terjadinya  kontradiktif. Oleh karenanya, kepada pihak terkait seperti Pemerintah Daerah kiranya perlu bersabar sebelum menerbitkan aturan khususnya yang berkaitan dengan fasilitasi dan dukungan pesantren hingga PP terkait Pesantren terbit. Apabila UU dan PP tersebut dijadikan rujukan secara bersamaan dalam penyusunan aturan lainnya, dikhawatirkan akan memunculkan hal-hal yang disharmoni yang kemudian dapat melahirkan kebingungan di masyarakat dalam pelaksanaannya.

Semoga dengan hadirnya Undang-Undang ini dapat memberikan dampak positif bagi keberadaan Pesantren di Indonesia. Seperti halnya Badan Penyelenggaran Jaminan Produk Halal yang lahir di Kementerian Agama sebagai respon atas amanah yang tertuang dalam Undang-Undang JPH, yang  kemudian memberikan dampak pada lebih tertibnya proses sertifikasi halal suatu produk. Tidak mustahil juga apabila Undang-Undang Pesantren dapat melahirkan struktur baru di Kementerian Agama setingkat eselon I, dengan harapan agar ke depannya Pesantren benar-benar mendapatkan perhatian yang setara dengan Lembaga Pendidikan formal lainnya di Indonesia.

 

Lia Dahliantini, S.Si, M.T.

(ASN Kementerian Agama)

ÂÂ