IJMA SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM

Sabtu, 28 Agustus 2021
Penulis:

27301 kali dilihat

40 kali dibagikan

Dian Rahmat Nugraha, SHI,M.Sy

Penghulu KUA Kecamatan Bungursari 

Kementerian Agama Kota Tasikmalaya 


Islam memiliki banyak keistimewaan tersendiri ,  Keistimewaan itu paling tidak dilihat dari fenomena yang terjadi pada masyarakat dunia penghuni bumi ini, yaitu realitas akan kebenaran Islam sebagai ajaran yang dapat diterima sepanjang zaman dan di tempat manapun ]uga. Fenomena ini ada, boleh jadi karena Islam memiliki dua karakter yang menarik, yaitu orisinil dalam konsepsi dan kondisional dalam aplikasi.Sebagai landasan dari ijma itu ada beberapa ayat yang memerintahkan supaya taat kepada Al  Qur’an , Hadist  Juga Ijma dan Qiyas  ,Jadi  dalam Al-Qur’an kita diperintahkan untuk mentaati Rasulullah dan berpegang teguh dengan hadits Rasulullah selama itu shahih. Maka kita wajib berpegang teguh dengannya meskipun tidak terdapat perintah tersebut secara persis. Karena secara umum Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman di dalam  Al-Qur’an: “Barangsiapa yang taat kepada Rasul, maka sungguh dia telah taat kepada Allah.” Makanya orang-orang yang menolak hadits yang shahih dengan mengatakan tidak terdapat di dalam Al-Qur’an, ini adalah kedustaan yang justru mendustakan Al-Qur’an itu sendiri. Pembahasan lanjutan dari ayat yang kita bahas tadi: “Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, dan kepada Ulil Amri.”Ketika menyebutkan “taat kepada Rasul”, diulangi. Menunjukkan taat kepada Rasul itu tersendiri, wajib untuk dilakukan selama ada berita dari hadits yang sahih yang sampai kepada kita.

Adapun Ulil Amri yaitu percaya kepada ijma tidak diulangi “ketaatan kepadanya”, tapi digandengkan dengan perintah ketaatan sebelumnya. Hal ini menunjukkan ketaatan kepada Ulil Amri kepada Ijma sahabat harus termasuk di dalam ketaatan kepada Rasul atau hadist nabi . Yakni tidak boleh menyelisihi perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan RasulNya. Diterangkan oleh Imam Ibnul Qayyim di sini bahwa adapun pemimpin di sini, maka tidak wajib kita mentaati salah seorang di antara mereka, kecuali kalau termasuk di dalam ketaatan kepada Rasulullah. Jadi, ketaatan kepada Ulil Amri di sini harus sesuai dengan ketaatan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, harus dalam rangka taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan RasulNya. kaidahnya. Sudah kita bahas tadi, taat kepada Allah, taat kepada Rasul, seandainya ada sebuah perintah di dalam hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak disebutkan di dalam Al-Qur’an secara dzatnya, maka tetap wajib untuk kita taati. Karena taat kepada Rasulullah adalah termasuk ketaatan kepada Allah  Adapun kalau ketaatan kepada Ulil Amri harus benar-benar tercakup di bawah ketaatan kepada Rasululloh  dan bukanlah ketaatan yang berdiri sendiri.  Muhammad bin Hasan al-Gifari mengemukakan definisi ijma yakni :  Kesepakatan semua mujtahid dari kalangan umat Muhammad pada suatu masa terhadap hukum syara  Sedangkan al-kamal menyatakan: Kesepakatan semua mujtahid pada suatu masa dari kalangan umat Muhammad terhadap perkara syara’ , atau  kesepakatan hukum dari para mujtahid pengikut nabi Muhammad setelah beliau wafat pada suatu wakyu tertentu” .Yang dimaksud dengan istilah Mujtahid dalam definisi tersebut adalah orang muslim dewasa yang berakal sehat yang mempunyai kapabilitas dan kompetensi untuk menghasilkan hukum dari sumber-sumbernya. Penggunaan istilah Mujtahid dan semacamnya dalam definisi ijma ‘untuk menegaskan orang awam atau orang yang tidak mempunyai kapabilitas berijtihad, tapi, ada juga ulama yang mempersyaratkan keikutsertaan orang awam dalam persepakatan itu agar tercapai ijma’ sehingga tidak di anggap sah suatu ijma’ manakala mendapat tentangan dari orang awam.  Ungkapan “ pada suatu masa” dalam definisi ijma’, menunujkan bahwa kesatuan masa hidup mujtahid terkait merupakan syarat sahnya suatu ijma’. Hal demikian di sepakati oleh semua ulama. Tetapi, ada ulama yang menambahkan ungkapan “ berupa kesepakatan yang terus menerus berlangsung hingga berakhirnya masa hidup para mujtahid terkait “. Ada juga yang menambahkan ungkapan “.Ungkapan  “terhadap hukum syara’” 

Maka berdasarkan definisi di atas, ditarik beberapa preposisi,yaitu : Kesepakatan orang awam tidak bisa di sebut sebagai Ijma’ karna sepakat atau tidaknya mereka bukanlah faktor determinan.terus Kesepakatan sebagai mujtahid juga tidak bisa di sebut sebagai Ijma’ karna hal demikian tidak mencerminkan kesepakatan bulat dan  Kesepakatan umat umat terdahulu juga tidak bisa di sebut Ijma’ karna mereka bukanlah umat Nabi Muhammad dan Kesepakatan semua mujtahid ( para sahabat ) pada masa Nabi juga tidak bisa di sebut sebagai Ijma’ karna pada masa Nabi, sepakat atau tidak para sahabat tidak mempunyai implikasi tasyri’iy apa pun. Juga ungkapan pada suatu masa menjadi unsur penting dalam pengertian Ijma’ dalam rangka menegaskan pandangan yang menyatakan Ijma’ itu kesepakatan semua mujtahid umat pada seluruh masa hingga hari kiamat  Bagi kubu penerima ijma ,Ijma’itu memang bisa terjadi,bahkan sudah terjadi,sudah menjadi realitas-historis.  Kubu penolak ( kontra ) mengemukakan argumentasi bahwa realitas menyebarnya para ulama ke berbagai negri yang berjauhan secara geografis,tidak memungkinkan mereka mengetahui hukum tengah di perbincangkan, dan ini pada gilirannya tidak memungkinkan lahirnya kesepakatan di antara mereka. di bantah oleh kubu penerima ( pro ). Menurut nya , hal tersebut merupakan klaim semata yang tidak berdasar. Ke-mutawatir-an yang menjadi ciri khas Ijma’ adalah sama dengan yang di miliki Al-Qur’an yang notabene terbukti secara realitas-historis ; jadi,tetap terbuka kemungkinan terjadinya Ijma’. Dan Sekiaranya kesepakatan tentang masalah hukum tersebut bertumpu pada dalil qat’iy,tentu masalah hukum itu diketahui oleh banyak orang sehingga tidak perlu lagi ada Ijma’.Tapi realitas menunjukan masalah hukum itu tidak diketahui banyak orang; dan ini berarti kesepakatan tersebut tidak bertumpu pada dalil qat’iy. Begitu juga,sekiranya ia bertumpu pada dalil zanniy,tentu sangat sulit-bahkan mustahil-lahir kesepakatan darinya karna adanya perbedaan daya nalar dan analisis diantara para mujtahid itu. Argumen ini di bantah pula oleh kubu penerima (pro). Menurut mereka,masalah hukum syara’merupakan masalah yang bertumpu pada dalil sehingga tidak mustahil mereka bersatu pendapat lantaran ada dalil qat’iy atau dalil zahir 

Ijma dengan kriteria yang Ideal pernah terjadi di zaman sahabat pada pemerintahan Umar dan Abu Bakar spt penyamaan posisi orang yang ingkar zakat dengan kelompok pemberontak hinggga hukumannya dibunuh lewat penyerangan militer dan Ijma di akui eksistensinya para ulama sunni , dijadikan rujukan dalam kajian hukum dan tidak diterima oleh ulama Syiah,  mengatakan bahwa jumhur ulama sunni optimis ijma bisa dijalankan kalau koordinasi oleh pemerintah negara negara Islam dengan sistem Delegatif, yakni masing masing negara menunjuk mujtahidnya dengan kriteria kriteria yang telah mereka sepakati , dan tentang Ijma ini sebagai sumber hukum ketiga punya dasar yang kuat yang tertuang dalam al- Nisa ayat 115  dan Dalam Al-quran  Allah menyamakan hukuman orang yang menetang produk hukum ulama secara kolektif dengan menentang Allah dan Rasulnya yakni sama sama di ancam dengan jahannam , dengan demikian menetang Allah dan rasulnya adalah haram maka menentang produk ulama secara kolektif juga haram berarti mengikutinya adalah wajib dan mereka menafsirkan kata ulil amri pada annisa 59  denga dua konotasi yakni  sebagai penguasa politik dan penguasa hukum , penguasa politik adalah pemerintah dan penguasa hukum adalah para mujtahid atau ulama fiqh.