PERAN PEREMPUAN DALAM PENERAPAN MODERASI BERAGAMA

Kamis, 06 Oktober 2022
Penulis:

46 kali dilihat

51 kali dibagikan

PERAN PEREMPUAN DALAM PENERAPAN MODERASI BERAGAMA 

Oleh : Susan Daniati, S.Pd.I.,M.Pd.

Guru PAI SDN KaranglayungMangkubumi Kota Tasikmalaya


Moderasi atau wasathiyyah bukanlah sikap yang bersifat tidak jelas atau tidak tegas terhadap sesuatu bagaikan sikap netral yang pasif, Bukan juga, sebagaimana dikesankan oleh namanya wasath yakni “pertengahan”, pilihan yang mengantar pada dugaan bahwa wasathiyyah tidak menganjurkan manusia berusaha mencapai puncak sesuatu yang baik dan positif seperti ibadah, ilmu, kekayaan, dan sebagainya. 

Kata “moderasi” memiliki korelasi dengan beberapa istilah. Dalam bahasa Inggris, kata “moderasi” berasal dari kata moderation, yang berarti sikap sedang, sikap tidak berlebih-lebihan. Juga terdapat kata moderator, yang berarti ketua (of meeting), pelerai, penengah (of dispute).

Kata moderation berasal dari bahasa Latin moderatio, yang berarti ke-sedang-an (tidak kelebihan dan tidak kekurangan). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “moderasi” berarti penghidaran kekerasan atau penghindaran keekstreman. Kata ini adalah serapan dari kata “moderat”, yang berarti sikap selalu menghindarkan perilaku atau pengungkapan yang ekstrem, dan kecenderungan ke arah jalan tengah. Sedangkan kata “moderator” berarti orang yang bertindak sebagai penengah (hakim, wasit, dan sebagainya), pemimpin sidang (rapat, diskusi) yang menjadi pengarah pada acara pembicaraan atau pendiskusian masalah, alat pada mesin yang mengatur atau mengontrol aliran bahan bakar atau sumber tenaga.

Jadi Moderasi beragama adalah cara pandang kita dalam beragama secara moderat, yakni memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan tidak ekstrem, baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri. Ekstremisme, radikalisme, ujaran kebencian (hate speech), hingga retaknya hubungan antarumat beragama, merupakan problem yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini. Menurut Quraish Shihab, moderasi beragama dalam konteks Islam sebenarnya sulit didefinisikan. Hal itu karena istilah moderasi baru muncul setelah maraknya aksi radikalism dan ekstremisme. Pengertian moderasi beragama yang paling mendekati dalam istilah Al-Qur’an yakni “wasathiyah”. Menurut Komaruddin Hidayat, pengertian moderasi beragama muncul karena ada dua kutub ekstrem, yakni ekstrem kanan dan ekstrem kiri. Ekstrem kanan terlalu terpaku pada teks dan cenderung mengabaikan konteks, sedangkan ekstrem kiri cenderung mengabaikan teks. Maka, moderasi beragama berada di tengah-tengah dari dua kutub ekstrem tersebut, yakni menghargai teks tetapi mendialogkannya dengan realitas kekinian.

Moderasi beragama pada dasarnya berusaha memperkuat untuk mencapai misi utama agama: membawa kedamaian, kerukunan, kesalamatan, tolong menolong, kerjasama, toleransi. Moderasi beragama diharapkan dapat mengembalikan masyarakat agar memahami, menghayati dan mengamalkan misi profetik agama, yang secara umum membawa rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin). Dalam Islam, ini pesan utama dalam QS Al-Anbiya 21: 107.

Sekarang ini moderasi beragama semakin perlu dan dapat menjadi solusi dalam mengatasi berkembangnya radikalisme, termasuk di lingkungan dunia pendidikan. Jika tidak diatasi segara, situasi ini menjadi ancaman bagi dunia pendidikan.

Perempuan sangat tepat jika dijadikan akar atau sumber dalam menciptakan moderasi beragama. Perempuan sejatinya merupakan madrasah pertama bagi anak-anaknya dan merupakan salah satu bagian penting dalam rumah tangga, di mana penanaman bibit-bibit perdamaian, cinta kasih, dan toleransi dimulai dari seorang perempuan baik sebagai seorang istri, seorang Ibu maupun keduanya atau sebagai anggota masyarakat.

Penerapan moderasi beragama akan efektif jika dimulai dari wilayah terkecil dahulu yakni rumah tangga. Dalam rumah tangga seorang perempuan yang mempunyai pemahaman agama baik akan menciptakan suasana yang aman dan nyaman untuk partnernya (suami), begitupun sebaliknya. Suasana yang aman dan nyaman tersebut bisa menciptakan keterbukaan satu sama lain baik persoalan perasan yang dialami, permasalahan di tempat kerja atau masalah-masalah lainnya.

Dengan keterbukaan antara suami dan istri dan pemahaman agama yang baik, maka akan menumbuhkan rasa ingin berbagi, lalu kemudian didapatkan ilmu atau pengetahuan baru (pembelajaran dari pengalaman), serta menumbuhkan rasa kepedulian. Sehingga, dengan tumbuhnya kepedulian pada sesama maka bukan tidak mungkin akan melahirkan cinta kasih dan tidak ingin menyakiti orang lain.

Dalam mewujudkan moderasi beragama di Indonesia peran apa saja yang diemban oleh perempuan? Pertama, ketika perempuan berperan sebagai ibu, maka perempuan dengan ketulusan menanamkan nilai-nilai toleransi dan perdamaian kepada anak sejak dini, sehingga ketika anak tumbuh dan berkembang dalam berteman dengan anak-anak lain, si anak akan terbiasa melihat perbedaan dan menganggap perbedaan itu suatu keunikan yang dimiliki setiap insan.

Kedua, ketika perempuan berperan sebagai istri ia senantiasa menjadi partner yang nyaman untuk suaminya, sehingga suami tidak merasa sendiri ketika mengalami persoalan atau kesedihan.

Ketiga, ketika perempuan berperan sebagai guru yang berkarier di ruang publik, di mana guru senantiasa selalu mengajarkan kerukunan dengan tanpa membedakan perlakuan kepada setiap murid-muridnya.

Keempat, ketika perempuan berperan sebagai tokoh masyarakat atau ulama maka akan menanamkan nilai-nilai toleransi dan perdamaian, misalnya dalam kegiatan majelis taklim.

Kelima, ketika perempuan berperan sebagai agen perdamaian maka akan senantiasa terus belajar dan menambah wawasan mengenai toleransi dan perdamaian yang menjadi bagian dari moderasi beragama, sehingga dengan hal tersebut generasi agen perdamaian akan terus melanggengkan budaya-budaya toleransi misalkan lewat konten-konten yang bernarasikan perdamaian dan kerukunan.

Lalu langkah apa saja yang bisa dilakukan dalam mendukung dan memfasilitasi perempuan dalam mewujudkan moderasi beragama? Pertama, perlu melibatkan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan salah satunya dalam pengambilan keputusan baik di ranah domestik maupun publik.

Kedua, sediakan ruang aman dan privat  untuk perempuan. Misalnya di bus kota dan tempat umum lainnya disediakan ruang privat untuk Ibu menyusui, atau dengan cara lain pelaku pelecehan dan kekerasan ditindak lebih lanjut agar menimbulkan efek jera.

Ketiga, Sediakan kuota yang sama dengan laki-laki ketika melibatkan perempuan dalam berbagai bidang. Misalnya kuota polisi perempuan, prajurit perempuan, dan akses perempuan di pemerintahan serta bidang pelayanan publik lainnya. Jangan hanya menganggap bahwa perempuan adalah makhluk lemah sebelum diberikan kesempatan yang sama dengan laki-laki karena setiap orang diberikan kelebihan dan kesempurnaan yang terbaik oleh Allah SWT. 

Perempuan mampu menjadi inisiator untuk perdamaian. Pada fase kontra radikalisasi, perempuan mampu membentuk pertahanan dalam hal radikalisme melalui pengenalan gejala-gejala asosial yang ditunjukkan oleh seseorang. Perempuan sebagai seorang ibu, berperandalam menanamkan good values pada anak-anaknya terutama dalam pendidikan usia dini.“Good values yang harus diajarkan berbasis rahmah (kasih sayang) seperti love and respact others menjadi persyaratan yang tidak bisa dinegosisasikan sebagai jalan mencapai kondisi peaceful. Menanamkan good values di hati anak-anak diharapkan menjadi karakter hingga mereka dewasa dan bisa dibawa di kehidupan kemasyarakatan. Tentu saja ini bukan pekerjaan sehari atau sebulan, tapi berkesinambungan.

Saya menyambut baik Kementerian Agama mendorong usaha memperkuat moderasi beragama melalui beragam pendekatan dan medium. Salah satunya melalui peran guru pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) dan proses belajar-mengajar. Menurut saya, guru PAI dapat menjalankan delapan peran. Pertama, mengkaitkan materi pelajaran PAI dalamkehidupan sehari-hari siswa misalnya bagaimana bersikap dan bergaul dengan sesama non muslim, batasan-batasan dalam bergaul dalam ajaran Islam, memberikan pemahaman yang mana haram dan halal dengan menggunakan bahasa yang mudah diterima. Kedua, mengembangkan tiga metode yang efektif: diskusi, kerja kelompok dan karya wisata. Ketiga, menjadi contoh teladan dalam kehidupan sehari -hari bagi siswa. Keempat, melakukan kunjungan ke rumah orang tua siswa. Kelima, bekerja sama dengan seluruh guru dan tenaga kependidikan dalam penerapan nilai – nilai akhlak, nilai – nilai moderat, toleransi. Keenam, pengajian bulanan bagi peserta didik, guru dan tenaga kependidikan, orang tua dan masyarakat sekitar sekolah. Ketujuh, ikut serta dalam lomba– lomba baik lomba untuk guru atau peserta didik. Kedelapan, berperan aktif dalam ekstrakulikuler yang ada di sekolah.

Sebagai guru PAI di SDN Karanglayung Mangkubumi Kota Tasikmalaya, saya melakukan penguatan moderasi di sekolah melalui metode diskusi, kerja kelompok dan karya wisata. Saya memilih ketiga metode ini karena menurut saya metode ini cocok diterapkan di sekolah kami, sehingga metode diskusi dan kerja kelompok dapat merangsang kreatifitas anak, memperluas wawasan, mengembangkan sikap saling menghargai dan membina untuk terbiasa musyawarah dalam memecahkan suatu masalah.

Untuk menanamkan kepercayaan pada jiwa anak, yang mencakup percaya pada diri sendiri, percaya pada orang lain terutama dengan pendidikannya, dan percaya bahwa manusia bertanggungjawab atas perbuatan dan perilakunya. Ia juga mempunyai cita-cita dan semangat, menanamkan rasa cinta dan kasih terhadap sesama, anggota keluarga, dan orang lain. Untuk mencapai semua tujuan itu saya membaca-baca literature buku tentang moderasi beragama, artikel-artikel dan berdiskusi dengan teman-teman di grup AGPAII, menyusun RPP yang dikaitkan dengan penerapan moderasi beragama di sekolah. AGPAII dalam hal ini sangat berperan dalam pengembangan moderasi beragama dengan diadakan webseries GPM (Guru Pelopor Moderasi), bimbingan dari para pengurus DPP AGPAII intensif untuk kami para guru PAI di seluruh Indonesia. Hasil yang sudah kami capai dalam penerapan moderasi beragama di sekolah kami adalah dalam segi akhlak peserta didik lebih terbiasa saling menghargai satu sama lain, prestasi peserta didik baik akademik maupun non akademik yang terus meningkat. Kendala yang dihadapi dalam mensosialisasikan moderasi beragama di sekolah kami ini adalahmenyamakan persepsi. Menyamakan persepsi ini memakan cukup banyak waktu.Kami tidak ingin ada persepsi moderat yang berarti menjadi liberal. Kendala yang lainnya juga adalah kurangnya prasarana yang ada di sekolah, juga karena peserta didik tidak membawa alat komunikasi sehingga kadang untuk berkomunikasi agak sulit. Saya pun mengalami kesulitan dalam penerapan moderasi beragama di sekolah karena pengetahuan saya yang kurang mengenai moderasi beragama karena itu saya terus belajar dan membaca serta bertanya dan berdiskusi dengan teman-teman yang lebih kompeten di bidangnya. Dalam moderasi beragama memiliki satu nilai kesamaan yang harus dipegang yakni nilai keadilan dan keberimanan. Usaha saya dalam penerapan moderasi Bergama di sekolah agar lebih cepat di pahami dan diterapkan yaitu dengan mengajak mereka terus berdiskusi, pendekatan yang lebih intensif dengan peserta didik dan mengajak peserta didik untuk terus mengkampanyekan nilai-nilai moderasi beragama dengan membuat quotes-qoutes ajakan dalam penerpan moderasi Bergama. 

Terakhir, sebagai upaya deradikalisme, perempuan bisa menggunakan kekuasaannya untuk memengaruhi perempuan lain yang sudah terpapar radikalisasi. Perempuan mempunyaiperan penting dalam pendekatan tanpa kekerasan. Pendekatan ini berhubungan dengan nilai-nilai feminin yang dimiliki perempuan.Nilai feminin ini dapat pula digunakan untuk mempersuasi orang dengan tujuan kebaikan.


Tasikmalaya, 7 Oktober 2022