Oleh :
Nandang Syukur H.
Penyuluh Agama Kecamatan Ibun Kab. Bandung
Menentukan
awal ramadhan dilakukan dengan salah satu dari dua cara berikut:
1. Melihat
hilal ramadhan.
2.
Menggenapkan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.
Melihat Hilal Ramadhan
Dasar dari hal
ini adalah firman Allah Ta’ala,
â€ÂKarena itu,
barangsiapa di antara kamu menyaksikan (di negeri tempat tinggalnya) di bulan
itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.†(QS. Al Baqarah: 185)
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
â€ÂApabila bulan telah masuk kedua puluh
sembilan malam (dari bulan Sya’ban, pen). Maka janganlah kalian berpuasa hingga
melihat hilal. Dan apabila mendung, sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi tiga
puluh hari.â€Â
Menurut
mayoritas ulama, jika seorang yang ‘adl (shalih) dan terpercaya melihat hilal
Ramadhan, beritanya diterima. Dalilnya adalah hadits Ibnu‘Umar radhiyallahu
‘anhuma,
“Orang-orang berusaha untuk melihat hilal,
kemudian aku beritahukan kepadaRasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa
aku telah melihatnya. Kemudian beliau berpuasa dan memerintahkan orang-orang
agar berpuasa.â€Â
Sedangkan
untuk hilal syawal mesti dengan dua orang saksi. Inilah pendapat mayoritas
ulama berdasarkan hadits,
“Berpuasalah
kalian karena melihatnya, berbukalah kalian karena melihatnya dan sembelihlah
kurban karena melihatnya pula. Jika -hilal- itu tertutup dari pandangan kalian,
sempurnakanlah menjadi tiga puluh hari, jika ada dua orang saksi, berpuasa dan
berbukalah kalian.â€Â
Dalam hadits
ini dipersyaratkan dua orang saksi ketika melihat hilal Ramadhan dan Syawal.
Namun untuk hilal Ramadhan cukup dengan satu saksi karena hadits ini
dikhususkan dengan hadits Ibnu ‘Umar yang telah lewat.
Menentukan
Awal Ramadhan dengan Ru’yah Bukan dengan Hisab Perlu diketahui bersama
bahwasanya mengenal hilal adalah bukan dengan cara hisab. Namun yang lebih
tepat dan sesuai dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
mengenal hilal adalah dengan ru’yah (yaitu melihat bulan langsung dengan mata
telanjang). Karena Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi contoh
dalam kita beragama telah bersabda,
â€ÂSesungguhnya
kami adalah umat ummiyah. Kami tidak mengenal kitabah (tulis-menulis) dan tidak
pula mengenal hisab . Bulan itu seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan
29) dan seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 30).â€Â
Ibnu Hajar Asy
Syafi’i rahimahullah menerangkan,
“Tidaklah
mereka –yang hidup di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam– mengenal hisab
kecuali hanya sedikit dan itu tidak teranggap. Karenanya, beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam mengaitkan hukum puasa dan ibadah lainnya dengan ru’yah untuk
menghilangkan kesulitan dalam menggunakan ilmu astronomi pada orang-orang di
masa itu. Seterusnya hukum puasa pun selalu dikaitkan dengan ru’yah walaupun
orang-orang setelah generasi terbaikmembuat hal baru (baca: bid’ah) dalam
masalah ini. Jika kita melihat konteks yang dibicarakan dalam hadits, akan
nampak jelas bahwa hukum sama sekali tidak dikaitkan dengan hisab. Bahkan hal
ini semakin terang dengan penjelasan dalam hadits,
“Jika mendung (sehingga kalian tidak bisa
melihat hilal), maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.â€Â
Di sini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan, “Tanyakanlah pada ahli hisabâ€Â. Hikmah
kenapa mesti menggenapkan 30 hari adalah supaya tidak ada peselisihihan di
tengah-tengah mereka.
Sebagian
kelompok memang ada yang sering merujuk pada ahli astronom dalam berpatokan
pada ilmu hisab yaitu kaum Rofidhoh. Sebagian ahli fiqh pun ada yang satu
pendapat dengan mereka. Namun Al Baaji mengatakan, “Cukup kesepakatan (ijma’)
ulama salaf (yang berpedoman dengan ru’yah, bukan hisab, -pen) sebagai
sanggahan untuk meruntuhkan pendapat mereka.â€ÂIbnu Bazizah pun mengatakan,
“Madzhab (yang berpegang pada hisab, pen) adalah madzhab batil. Sunguh syariat
Islam elah melarang seseorang untuk terjun dalam ilmu nujum. Karena ilmu ini
hanya sekedar perkiraan (dzon) dan bukanlah ilmu yang pasti (qoth’i) bahkan
bukan sangkaan kuat. Seandainya suatu perkara dikaitkan dengan ilmu hisab,
sungguh akan mempersempit karena tidak ada yang menguasai ilmu ini kecuali
sedikitâ€Â.
Apabila pada Malam Ketigapuluh Sya’ban
Tidak Terlihat Hilal
Apabila pada
malam ketigapuluh Sya’ban belum juga terlihat hilal karena terhalangi oleh awan
atau mendung maka bulan Sya’ban disempurnakan menjadi 30 hari.
Salah seorang
ulama Syafi’i, Al Mawardi rahimahullah mengatakan, “Allah Ta’ala memerintahkan
kita untuk berpuasa ketika diketahui telah masuk awal bulan. Untuk
mengetahuinya adalah dengan salah satu dari dua perkara. Boleh jadi dengan
ru’yah hilal untuk menunjukkan masuknya awal Ramadhan. Atau boleh jadi pula
dengan menggenapkan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.
Karena Allah
Ta’ala menetapkan bulan tidak pernah lebih dari 30 hari dan tidak pernah kurang
dari 29 hari. Jika terjadi keragu-raguan pada hari keduapuluh sembilan, maka
berpeganglah dengan yang yakin yaitu hari ketigapuluh dan buang jauh-jauh
keraguan yang ada.â€Â
Puasa dan Hari Raya Bersama Pemimpin dan
Mayoritas Manusia
Jika salah
seorang atau satu organisasi melihat hilal Ramadhan atau Syawal, lalu
persaksiannya ditolak oleh penguasa apakah yang melihat tersebut mesti puasa
atau mesti berbuka? Dalam masalah ini ada perselisihan pendapat di antara para
ulama.
Salah satu
pendapat menyatakan bahwa ia mesti puasa jika ia melihat hilal Ramadhan dan ia
mesti berbuka jika ia melihat hilal Syawal.
Namun keduanya
dilakukan secara sembunyi-sembunyi agar tidak menyelisi mayoritas masyarakat di
negeri tersebut. Inilah pendapat yang dipilih oleh Imam Asy Syafi’i, salah satu
pendapat dari Imam Ahmad dan pendapat Ibnu Hazm.
Dalilnya
adalah firman Allah Ta’ala,
â€ÂKarena itu, barangsiapa di antara kamu
menyaksikan (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan tersebut.†(QS. Al Baqarah: 185)
Pendapat
lainnya menyatakan bahwa hendaklah orang yang melihat hilal sendirihendaklah
berpuasa berdasarkan hilal yang ia lihat. Namun hendaklah ia berhari raya
bersama masyarakat yang ada di negerinya. Inilah pendapat Imam Abu Hanifah,
Imam Malik dan pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad.
Sedangkan
pendapat yang terakhir menyatakan bahwa orang tersebut tidak boleh mengamalkan
hasil ru’yah, ia harus berpuasa dan berhari raya bersama masyarakat yang ada di
negerinya. Dalil dari pendapat terakhir ini adalah sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
“Puasa kalian
ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, idul fithri ditetapkan tatkala
mayoritas kalian beridul fithri, dan idul adha ditetapkan tatkala mayoritas
kalian beridul adha.â€Â
Ketika menyebutkan
hadits tersebut, Abu Isa At Tirmidzi rahimahullah menyatakan, â€ÂSebagian ulama
menafsirkan hadits ini dengan mengatakan, “Puasa
dan hari raya hendaknya dilakukan bersama jama’ah (yaitu pemerintah kaum
muslimin) dan mayoritas manusia (masyarakat)â€Â.
Pendapat
terakhir ini menjadi pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan juga merupakan
salah satu pendapat dari Imam Ahmad Pendapat inilah pendapat yang kami nilai
lebih kuat. Penjelasannya sebagai berikut.
Perlu
diketahui bahwa hilal bukanlah sekedar fenomena alam yang terlihat di langit.
Namun hilal adalah sesuatu yang telah masyhur di tengah-tengah manusia, artinya
semua orang mengetahuinya.
Ibnu Taimiyah
rahimahullah menjelaskan, “Hilal asalnya
bermakna kata zuhur (artinya: nampak) dan rof’ush shout (meninggikan suara).
[Artinya yang namanya hilal adalah sesuatu yang tersebar dan diketahui oleh
orang banyak, -pen]. Jika hilal hanyalah nampak di langit saja dan tidak nampak
di muka bumi (artinya, diketahui orang banyak, -pen), maka semacam itu tidak
dikenai hukum sama sekali baik secara lahir maupun batin. Akar kata dari hilal
sendiri adalah dari perbuatan manusia. Tidak disebut hilal kecuali jika
ditampakkan. Sehingga jika hanya satu atau dua orang saja yang mengetahuinya
lantas mereka tidak mengabarkan pada yang lainnya, maka tidak disebut hilal. Karenanya,
tidak ada hukum ketika itu sampai orang yang melihat hilal tersebut
memberitahukan pada orang banyak. Berita keduanya yang menyebar luas yang
nantinya disebut hilal karena hilal berarti mengeraskan suara dengan
menyebarkan berita kepada orang banyak.â€Â
Beliau
rahimahullah mengatakan pula, “Allah menjadikan hilal sebagai waktu bagi
manusia dan sebagai tanda waktu berhaji. Ini tentu saja jika hilal
tersebut benar-benar nampak bagi
kebanyakan manusia dan masuknya bulan begitu jelas.
Jika tidak
demikian, maka bukanlah disebut hilal dan syahr (masuknya awal bulan). Dasar
dari permasalahan ini, bahwa Allah subhanahu wa ta’ala mengaitkan hukum syar’i
-semacam puasa, Idul Fithri dan Idul Adha-dengan istilah hilal dan syahr
(masuknya awal bulan). Allah Ta’ala berfirman,
ّ“Mereka bertanya kepadamu tentang hilal
(bulan sabit). Katakanlah: “Hilal (bulan sabit) itu adalah tanda-tanda waktu
bagi manusia dan (bagi ibadat) haji†(QS. Al Baqarah: 189)
Ibnu Taimiyah
kembali menjelaskan, “Syarat dikatakan hilal dan syahr (masuknya awal bulan)
apabila benar-benar diketahui oleh kebanyakan orang dan nampak bagi mereka.
Misalnya saja ada 10 orang yang melihat hilal namun persaksiannya tertolak.
Lalu hilal ini tidak nampak bagi kebanyakan orang di negeri tersebut karena
mereka tidak memperhatikannya, maka 10 orang tadi sama dengan kaum muslimin
lainnya. Sebagaimana 10 orang tadi tidak melakukan wukuf, tidak melakukan
penyembelihan (Idul Adha), dan tidak shalat ‘ied kecuali bersama kaum muslimin
lainnya, maka begitu pula dengan puasa, mereka pun seharusnya bersama kaum
muslimin lainnya. Karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas
kalian berpuasa, idul fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul
fithri, dan idul adha ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul adha.â€Â
Imam Ahmad
–dalam salah satu pendapatnya- berkata,
“Berpuasalah bersama pemimpin kalian dan
bersama kaum muslimin lainnya (di negeri kalian) baik ketika melihat hilal
dalam keadaan cuaca cerah atau mendung.â€Â
Imam Ahmad
juga mengatakan,
“Allah akan
senantiasa bersama para jama’ah kaum musliminâ€Â.
Jika Satu Negeri Melihat Hilal, Apakah
Berlaku Bagi Negeri Lainnya?
Misalnya
ketika di Saudi sudah melihat hilal, apakah mesti di Indonesia juga berlaku
hilal yang sama? Ataukah masing-masing negeri berlaku hilal sendiri-sendiri?
Berikut kami
nukilkan keterangan dari para ulama yang duduk di Al Lajnah Ad Daimah lil
Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’(Komisi Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa Kerajaan
Saudi Arabia).
Pertanyaan:
“Bagaimana menurut Islam mengenai perbedaan kaum muslimin dalam berhari raya
Idul Fithri dan Idul Adha? Mengingat jika salah dalam menentukan hal ini, kita
akan berpuasa pada hari yang terlarang (yaitu hari ‘ied) atau akan berhari raya
pada hari yang sebenarnya wajib untuk berpuasa. Kami mengharapkan jawaban yang
memuaskan mengenai masalah yang krusial ini sehingga bisa jadi hujah (argumen)
bagi kami di hadapan Allah. Apabila dalam penentuan hari raya atau puasa ini
terdapat perselisihan, ini bisa terjadi ada
perbedaan dua sampai tiga hari. Jika agama Islam ini ingin menyelesaikan
perselisihan ini, apa jalan keluar yang tepat untuk menyatukan hari raya kaum
muslimin?
Jawab: Para
ulama telah sepakat bahwa terbitnya hilal di setiap tempat itu bisa
berbeda-beda dan hal ini terbukti secara inderawi dan logika. Akan tetapi, para
ulama berselisih pendapat mengenai teranggapnya atau tidak hilal di tempat lain
dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan. Dalam masalah ini ada dua pendapat.
Pendapat pertama adalah yang menyatakan teranggapnya hilal di tempat lain dalam
penentuan awal dan akhir Ramadhan walaupun berbeda matholi’ (wilayah terbitnya
hilal). Pendapat kedua adalah yang menyatakan tidak teranggapnya hilal di
tempat lain. Masing-masing dari dua kubu ini memiliki dalil dari Al Kitab, As
Sunnah dan qiyas. Terkadang dalil yang digunakan oleh kedua kubu adalah dalil
yang sama. Sebagaimana mereka samasama berdalil dengan firman Allah,
“Karena itu,
barangsiapa di antara kamu menyaksikan bulan (di negeri tempat tinggalnya),
maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.â€Â(QS. Al Baqarah: 185)
Begitu juga
firman Allah,
“Mereka bertanya kepadamu tentang hilal
(bulan sabit). Katakanlah: “Hilal (bulan sabit) itu adalah tanda-tanda waktu
bagi manusia dan (bagi ibadat) haji.â€Â(QS. Al Baqarah: 189)
Mereka juga
sama-sama berdalil dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Berpuasalah karena melihat hilal, begitu
pula berhari rayalah karena melihatnya.â€Â(HR. Bukhari dan Muslim)
Perbedaan
pendapat menjadi dua kubu semacam ini sebenarnya terjadi karena adanya
perbedaan dalam memahami dalil. Kesimpulannya bahwa dalam masalah ini masih ada
ruang untuk berijtihad. Oleh karena itu, para pakar fikih terus berselisih
pendapat dalam masalah ini dari dahulu hingga saat ini.
Tidak mengapa
jika penduduk suatu negeri yang tidak melihat hilal pada malam ke-30, mereka
mengambil ru’yah negeri yang berbeda matholi’ (beda wilayah terbitnya hilal).
Namun, jika di negeri tersebut terjadi perselisihan pendapat, maka hendaklah
dikembalikan pada keputusan penguasa muslim di negeri tersebut. Jika penguasa
tersebut memilih suatu pendapat, hilanglah perselisihan yang ada dan setiap
muslim di negeri tersebut wajib mengikuti pendapatnya.
Namun, jika
penguasa di negeri tersebut bukanlah muslim, hendaklah dia mengambil pendapat
majelis ulama di negeri tersebut. Hal ini semua dilakukan dalam rangka
menyatukan kaum muslimin dalam berpuasa Ramadhan dan melaksanakan shalat ‘ied.
Hanya Allah
yang memberi taufik. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan
sahabatnya.
Semoga sajian kali ini bermanfaat.
Editor : Tri Budiono