Isra; Momentum Tingkatkan Keimanan Diri

Kamis, 16 Pebruari 2023
Penulis:

121 kali dilihat

55 kali dibagikan

Oleh: Rudi Sharudin Ahmad, M.Ag

(Penyuluh Agama Islam Fungsional Kabupaten Cirebon, Alumni Pondok Pesantren Kulliyyatul Mu’allimin Al-Mutawally Kuningan)

Isra Mi’raj merupakan momentum tahunan yang selalu diperingati oleh mayoritas muslim Indonesia. Tentu hal tersebut bukan acara yang asing lagi di kalangan baik yang membid’ahkan atau membolehkan untuk memperingatinya. Sebagai momentum suprarasional yang agung dan diabadikan dalam al-Qur’an, sudah semestinya semua umat muslim melihat fakta sejarah bahwa al-Qur’an merekam peristiwa Isra dan Mi’raj yang dilakukan oleh nabi Muhammad SAW (Lihat Q.S Al-Isra:1 dan An-Najm: 13-15)

Isra berarti perjalanan nabi pada malam hari dari Masjid Al-Haram (Mekah) ke Masjid Al-Aqsa (Palestina). Sedangkan Mi’raj berarti naik dari Masjid Al-Aqsa ke Sidrotu al-Muntaha. Kejadian tersebut ditempuh oleh nabi hanya dalam semalam dengan jarak tempuh dari Mekah ke Palestina sekitar 1.500 km atau jika perjalanan tersebut dikonversikan ke daerah yang berada di Indonesia kurang lebih dari Jakarta ke Labuan Bajo, NTT menggunakan jalur darat. Ditambah lagi perjalanan dari Masjid al Aqsa ke Sidratu al-Muntaha. Kejadian kilat demikian menjadi isu sentral bahkan mengundang banyak perhatian di kalangan masyarakat Arab pagan sehingga Sebagian pengikut nabi yang imannya lemah mengganggap bahwa nabi menyampaikan kebohongan. Mengingat jarak tempuh Mekah-Palestina memakan waktu yang seharusnya ditempuh dengan berhari-hari bahkan bulan.

Fakta tersebut menjadi pertanyaan besar hingga saat ini tak ubahnya masyarakat Arab Jahiliyyah yang mempertanyakan rasionalitas perjalanan nabi yang ditempuh hanya sebagian malam. Karena dampak dari peristiwa tersebut ada juga pengikut nabi yang murtad meninggalkan beliau. Sebab, pada dasarnya, suatu peristiwa dikatakan rasional oleh seseorang jika sesuai dengan pengalaman empiris. Sedangkan peristiwa isra dan mi’raj ini adalah persitiwa yang hanya dialami oleh manusia pilihan Allah. Maka dari pengalaman tersebut sudah jelas bahwa rasionalias seseorang memiliki keterbatasan dan akan berbeda-beda. Oleh sebab itu jika seseorang hanya mengandalkan rasio/akal sebagai acuan untuk percaya terhadap sesuatu maka ia akan kesulitan menghadapi keterbatasan yang tidak selesai juntrungnya.

Pokok Iman dalam Al-Qur’an

Konsep fundamental ini menjadi tolok ukur seseorang dalam berkepercayaan. Islam jelas mengaturnya dengan detail. Misal, konsepsi Islam tentang iman yaitu; iman kepada Allah, para malaikat, para rasul, kitab-kitab suci agamaNya, hari akhir dan qada yang baik dan buruk. Konsep tersebut harus ada dalam setiap diri manusia yang mengaku dirinya sebagai muslim. Namun hal tersebut adalah konsepsi iman secara umum yang terdapat pada agama-agama samawi, termasuk yang kemudian mengalami perubahan baik penambahanatau pengurangan. Karena itu, al-Qur’an dengan tegas memberikan kriteria iman yang benar; 

Pertama, Iman kepada Allah sebagai satu-satunya sesembahan. Konsep ini ditegaskan sebab perjalanan panjang sebuah agama yang dibawa rasul dengan ajaran monotheisme seringkali diubah oleh pengikutnya mejadi syirik (politheisme). Al-Qur’an menyebut banyak kasus tentang hal itu, di antaranya kasus kaum Nabi Nuh, ummat Nashrani, dan kaum musyrikun Makkah yang dihadapi oleh Nabi Muhammad pada awal kenabiannya. Kaum Nabi Nuh, menyembah banyak sesembahan, yaitu: Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr. Mereka sesungguhnya adalah orang-orang yang kemudian dikeramatkan untuk lebih memudahkan jalan lebih dekat kepada Allah. 

Kedua, iman kepada seluruh rasul. Konsepsi ini terdapat dalam “Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: “Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)”, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir), merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan.” (al-Nisa’: 150-151). Ayat-ayat lebih berkaitan dengan orang-orang Yahudi yang monoteis, dibandingkan orang-orang Nashrani yang sesungguhnya juga kelanjutan Yahudi, tetapi berubah menjadi politeis.

Orang-orang Yahudi dan Nashrani sudah mendapatkan informasi di dalam kitab suci masing-masing bahwa akan datang rasul yang terakhir bernama Ahmad. Terutama kaum Yahudi, sangat Yakin bahwa rasul yang terakhir itu lahir dari garis keturunan Ishak, sehingga akan menjadi kebanggaan mereka, dan mereka harapkan bisa menjadi peminpin mereka untuk mengalahkan ummat-ummat yang lain. Namun, ternyata rasul terakhir itu lahir dari garis keturunan Isma’il. Karena itulah, banyak di antara mereka tidak mau mengakui kerasulan Muhammad karena gengsi semata. Mereka menutupi kebenaran yang sesungguhnya telah mereka ketahui. Sikap menutupi itulah yang menyebabkan mereka disebut kafir, berarti orang yang menutupi (Inggris: to cover).

Ketiga, iman kepada Muhammad sebagai rasul terakhir. Konsep ini selaras dengan firman Allah: “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (al-Ahzaab: 40). Walaupun telah beriman sebagaimana kriteria pertama dan kedua, tetapi percaya bahwa ada rasul setelah Muhammad, maka kepercayaan tersebut menjadi rusak, karena tercampur dengan kepercayaan yang tidak benar. 

Berdasarkan perspektif di atas, maka iman yang benar menjadi jelas. Demikian pula iman yang keliru. Pada momentum isra dan mi’raj iman kepada Muhammad menjadi syarat wajib bagi muslim untuk percaya kepadanya dan juga pesan-pesan yang dibawanya. Bahwa peristiwa yang dianggap irasional pada faktanya adalah keterbatasan manusia yang tidak mampu menembus batas pengetahuan dan pengalaman yang dialami oleh Muhammad sebagai satu-satuya makhluk pilihan Allah. Wallahu ‘alam bi al-shawaab.