Oleh: Dhamar Yulianto
Kredibilitas
menurut KBBI adalah perihal yang dapat dipercaya. Ia merupakan kualitas,
kapabilitas, atau kekuatan untuk menimbulkan kepercayaan pada orang lain. Kata
yang sudah lazim di masyarakat ini erat kaitannya dengan nama baik, reputasi,
dan kehormatan seseorang yang dianggap lebih baik daripada orang lain.
Kredibilitas
penting dimiliki bagi Aparatur Sipil Negara (ASN). Tanpanya, sulit membuat
orang lain percaya terhadap apa yang kita sampaikan. Bayangkan, betapa
sayangnya jika berbagai program tidak diterima bukan karena konsepnya yang
tidak bagus, melainkan kredibilitas kita yang diragukan. Kredibilitas tersebut
akan menunjang karir; serta menciptakan getaran positif, penghargaan, respect dan penerimaan yang baik pada orang
lain. Visi-misi lembaga yang terkemas dalam berbagai program inovatif pun dapat
tercapai.
Muhammad
Al Fatih adalah sosok yang memiliki kredibilitas. Kemampuan, kecerdasan, dan
kepribadiannya mampu memikat banyak orang dan mengantarkannya sukses membangun
peradaban. Melalui artikel ini, penulis hendak menunjukkan cara membangun
kredbilitas melalui kisahnya.
Muhammad Al Fatih, Sosok Istimewa nan
Mengagumkan
Dalam Buku
Muhammad Al Fatih Penakluk Konstantinopel
karangan Syaikh Ramzi Al Munyawi, dijelaskan bahwa semasa kecil; ia dididik oleh Maula Ahmad bin Ismail Al Khurani.
Pendidikan tersebut membuatnya tumbuh sebagai pemuda cerdas; menguasai bahasa
Turki, Persia, Arab, Yunani, Italia dan Latin; serta mampu membaca, menulis,
menerjemahkan, dan mengkhatamkan Al Qur’an.
Saat muda,
ia belajar dan berguru dengan banyak ilmuan baik muslim maupun non-muslim. Ia
belajar ilmu memanah, militer, sastra, sejarah klasik, geografi, dan sejarah Eropa;
metode perang; buku-buku trik mekanik, seni politik, serta
konspirasi-konspirasi lokal dan internasional. Ia memiliki tekad kuat dan sifat
pantang menyerah dalam hal apapun. Sungguh, sosok luar biasa di zamannya.
Konstantinopel, Karya Maha Besar Tak
terlupakan
Berbicara
Al Fatih tentu lekat dengan Konstantinopel sebagai karya maha besar tak
terlupakan sepanjang sejarah. Saat dirinya sudah tiada pun karya itu masih terlihat
jelas hingga kini. Semua berawal dari Hadits Nabi, “Sungguh Konstantinopel akan ditaklukkan. Sebaik-baik pemimpin adalah
penakluknya dan sebaik-baik pasukan adalah pasukannya.†(HR. Ahmad). Tetapi,
harapan indah berusia 800 tahun itu terus tersimpan rapi dalam
lembaran-lembaran kitab hadits. Bukan tidak ada yang berminat
merealisasikannya, melainkan gagal setelah 11 kali percobaan dilakukan. Melalui
gurunya, Al Fatih diyakinkan bahwa ia pemimpin yang dimaksudkan dalam hadits
itu.
Awalnya,
banyak orang meragukan impiannya tersebut. Selain usianya yang masih muda; siapa
yang tak kenal dengan Konstantinopel sebagai kota yang dikelilingi Teluk
Bosporus, Laut Marmara, dan Teluk Emas berpelindung rangkaian rantai besi
sehingga armada kapal laut yang hendak masuk selalu tertahan? Adanya 2 jalur
pagar setinggi 25 dan 40 kaki yang mengelilingi, menjadikannya sulit minta
ampun ditembus.
Tetapi,
kondisi demikian tidak membuat Al Fatih patah semangat. Berbagai persiapan menembus
Konstantinopel terus disempurnakan. Mengumpulkan informasi, mengintai, dan
mengawasi Konstantinopel menjadi aksi rutinnya menjelang detik-detik paling
bersejarah. Lalu, ia mengumpulkan 250.000 pasukan untuk meyakinkan bahwa mereka
bisa menang. Rela berkorban dan sungguh-sungguh adalah nilai yang selalu
didengungkan.
Al Fatih dan
para ulama dengan lantang membacakan ayat Al Qur’an dan Hadits-hadits Nabi
untuk memotivasi dan memberikan kabar gembira tentang penaklukkan Konstantinopel.
Alhasil, seluruh pasukan menjawabnya dengan gemuruh tahlil, takbir, dan doa.
Mereka tidak sabar menunggu kemenangan yang akan menjadi milik mereka.
Dengan
membagi pasukan menjadi beberapa kelompok; menyiapkan pasukan alternatif;
menarik kapal melalui jalan darat di antara dua pelabuhan demi menjauhi Benteng
Gandola menuju Teluk Tanduk Emas; dan serangkaian strategi lainnya; alhasil pada
Selasa 20 Jumadil Ula 857 H/ 29 Mei 1453 M, sebelum matahari berada di atas
ubun-ubun, Sultan Al Fatih berdiri di tengah kota diiringi pasukannya dan
mengucapkan “Masya Allahâ€Â. Konstantinopel sebagai ibukota Bizantium
ditaklukkan.
Cara Membangun Kredibilitas
Salah satu
faktor kemenangan Al Fatih menaklukan Konstantinopel adalah kredibilitasnya dalam
membangkitkan semangat dan kepercayaan diri pasukannya. Hikmah yang bisa
diambil dari kisah di atas tentang cara membangun kredibilitas adalah:
1. Memperluas Ilmu Pengetahuan
Allah berfirman dalam Surat Al Mujadillah ayat 11, “Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi pengetahuan beberapa derajatâ€Â. Ayat
tersebut menegaskan bahwa orang berilmu memiliki keutamaan. Mereka dapat
memunculkan solusi dalam menyelesaikan masalah, bahkan serumit dan sedetail
apapun.
Ilmu memudahkan kita membangun kredibilitas sebagai orang yang mampu
memecahkan masalah secara ilmiah. Perluas ilmu pengetahuan sesuai dengan bidang
yang kita geluti. Jika kita ingin kredibel di bidang komunikasi, perluaslah
pengetahuan tentang ilmu-ilmu komunikasi. Jika kita ingin kredibel di bidang
manajemen, perluaslah pengetahuan tentang ilmu-ilmu manajemen. Ilmu yang luas membuat
kita lebih berbobot dalam bicara maupun bertindak.
Bayangkan, apabila kita tidak memedulikan ilmu. mungkin kita tidak
bisa menyelesaikan pelbagai masalah dan kredibilitas kita pun diragukan. Program-program
lembaga tidak berjalan maksimal sehingga visi-misi semakin lama terwujud. Ilmu laksana
hamparan samudera tak bertepi, sangat luas dan dalam. Tiap kali kita
mendalaminya, saat itu pula terbuka pintu-pintu baru. Oleh sebab itu, menuntut
ilmu tak mengenal kata berhenti. Ketika berhenti, sama saja kita telah
membatasi diri menjadi orang yang kredibel dalam menyelesaikan masalah
tertentu.
Cara memperluas ilmu pengetahuan beragam. Mulai dari mengamati
kondisi lingkungan, berpikir dan merenungi peristiwa-peritiwa alam,
mendengarkan nasihat orangtua, menonton tv, browsing
internet, hingga belajar pada orang ahli. Semua bisa dilakukan kapanpun dan
dimanapun. Sama halnya dengan Al Fatih yang sejak kecil hingga remaja
mempelajari berbagai disiplin ilmu: sejarah, bahasa, sastra, militer, politik,
dsb. Semua dilakukan semata-mata untuk membangun kredibilitas sebagai sultan
yang mampu menaklukkan Konstantinopel.
2. Melakukan Percepatan Diri
Seorang muslim hendaknya seperti pelari marathon yang harus
berlari dalam jarak jauh. Ia perlu efisien dalam mengelola sumber daya yang
dimiliki dan menjauhkan diri dari kemubadziran. Itulah yang dicontohkan Al
Fatih. Ia melakukan percepatan diri diusianya yang muda dengan cara memperkaya
pengalaman, mengumpulkan informasi, mengintai, mengawasi, mengorganisir, dan
memimpin pasukan. Bahkan disaat remaja lainnya tidak melakukan hal serupa, ia
terus konsisten berjuang demi membangun kredibilitas. Alhasil, Konstantinopel
pun dapat direbutnya saat usia 25 tahun.
Ada dua cara agar kita mampu melakukan percepatan diri. Pertama, miliki sumber motivasi yang tak
pernah padam. Sumber motivasi Al Fatih adalah Allah dan ungkapan hadits Nabi.
Motivasi itu bagai cahaya matahari yang selalu bersinar hingga tidak terselip
sedikitpun rasa takut di hatinya. Jadi,
jika kita ingin melakukan percepatan diri, jadikan Allah sebagai motivasi
terkuat.“... Dan barangsiapa yang
bertawaqal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya ... .†(QS.
At Thalaq: 3)
Kedua,
melakukan skala prioritas. DR. Quraisy Shihab mengungkapkan, bahwa jika ada dua
pekerjaan diwaktu bersamaan dan memiliki nilai yang sama, maka pilihlah
pekerjaan yang paling singkat. Sebaliknya, jika ada satu diantara dua pekerjaan
yang memiliki nilai tambah dan dilakukan dalam waktu bersamaan, maka pilihlah
pekerjaan yang memiliki nilai tambah. Kunci sederhana dalam percepatan diri
yakni lakukan skala prioritas sebagaimana Al Fatih yang lebih memilih memperluas
ilmu pengetahuan dan memperkaya pengalaman militer bersama pasukannya.
3. Melatih Kecerdasan Emosi
Sesuai dengan namanya, kecerdasan emosi (EQ) adalah kemampuan kita
mengenali dan mengelola emosi yang ada pada diri. EQ mencakup motivasi diri,
bertahan menghadapi masalah, mengendalikan dorongan hati, mengatur suasana hati,
dan mampu mengendalikan tekanan sehingga kita mampu menempatkan kegembiraan,
kesedihan, dan kemarahan secara tepat. Cakupan lainnya yakni kemampuan untuk
memahami dan membina hubungan dengan orang lain, berkomunikasi, memimpin,
kerjasama tim, dan memotivasi.
Melatih kecerdasan ini sangat penting karena memperlihatkan kemampuan
kita memberikan kesan positif tentang siapa kita dan menyeimbangkan dua cara
sebelumnya yang lebih berfokus pada sisi intelegensi. Al Fatih telah
membuktikan dalam memotivasi dan meyakinkan pasukannya bahwa mereka dapat
merebut Konstantinopel. Hal itu semakin meningkatkan kredibilitasnya sebagai seorang
pemimpin.
Kesimpulan
Melalui kisah Muhammad Al Fatih, kita belajar bahwa kredibilitas menjadi harga mati yang tak bisa ditawar lagi. Kepercayaan menjadi keniscayaan suksesnya abdi negara karena tanpanya, visi-misi lembaga menjadi sia-sia. Semoga kita bisa mengikuti jejaknya. Teruslah bentuk kredibiltas itu.