Wabah Menahun: Predator Seks Dalam Kisaran Dunia Pendidikan

Selasa, 14 Desember 2021
Penulis:

28 kali dilihat

50 kali dibagikan

Oleh: Rudi Sharudin Ahmad

(Penyuluh Agama Islam Fungsional Kab. Cirebon, Alumni PonPes Kulliyatul Mu’allimin Al-Mutawally Kuningan-Jawa Barat)

Kejahatan seksual saat ini menyebar dengan segala bentuk. Khususnya pada kasus pemerkosaan atau pelecehan seksual. Pelakunya tidak lagi mengenal status, pangkat, pendidikan, jabatan dan usia korban. Semua itu akan dilakukan apabila mereka merasa terpuaskan hawa nafsunya. Demikian juga dengan usia pelaku yang tidak mengenal batas usia. Selama individu masih mempunyai daya seksual, dari anak-anak sampai kakek-kakek masih sangat mungkin untuk dapat melakukan tindak kejahatan pemerkosaan. Kejahatan pemerkosaan benar-benar perbuatan keji, karena selain perbuatan ini tidak disenangi oleh masyarakat terutama keluarga yang menjadi korban, Allah juga melaknat bagi pelaku pemerkosaan. 

Kekerasan terhadap anak Indonesia tampaknya masih meningkat di tahun 2013. Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mencatat dalam semester I di tahun 2013 mulai Januari sampai akhir Juni 2013 ada 1032 kasus kekerasan anak yang terjadi di Indonesia. Dari jumlah itu kekerasan fisik tercatat ada 294 kasus atau 28 persen, kekerasan psikis 203 kasus atau 20 persen dan kekerasan seksual 535 kasus atau 52 persen. Hasil riset terbaru dari Kementrian Pendidikan, Kebudayaan Riset dan Teknologi menyatakan bahwa 79% dosen mengakui adanya kekerasan seksual terjadi di kampus. Ironisnya 63% pelaku tidak melapor kepada pimpinan kampus. Survei ini dilakukan di 79 kampus di 29 kota. 

Kekerasan seksual di dunia Pendidikan yang tidak terungkap jauh lebih banyak. Padahal keberadaan lembaga pendidikan yang harusnya menjadi tempat yang menjamin kemerdekaan belajar dan pengembangan diri justru menjadi tempat yang menakutkan dan tempat menyuburkan trauma bagi para korban kekerasan seksual. 

Banyak kasus pemerkosaan yang sering kita temui dalam masyarakat yang dijadikan korban pemerkosaan adalah anak di bawah umur dan pelaku biasanya adalah orang yang dikenal dekat atau bertempat tinggal berdekatan dengan korban, seperti tetangga, teman, ayah kandung, ayah tiri, kakek, paman, dan saudara laki-laki sendiri. Pemerkosaan biasanya juga dilakukan oleh orang-orang yang tidak memiliki iman yang kuat dan pengetahuan yang dangkal, sehingga akal mereka tidak dapat mengalahkan hawa nafsu, akibatnya akal mereka lepas. Sebagaimana kasus oknum yang mengaku guru agama telah memperkosa 13 santriwati.

Pemerkosaan merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan. Perempuan disini tidak hanya dewasa tetapi banyak pula anak-anak. Pemerkosaan ini dapat berupa rasa trauma atau rasa malu kepada keluarga atau masyarakat. Rasa trauma dan malu yang dialami korban dapat berpengaruh dalam kehidupannya hingga kelak ia dewasa. Karena itu, perlu bagi korban didampingi oleh para konselor atau psikolog untuk menangani rasa trauma serius yang terjadi secara berkelanjutan. 

Pemerkosaan pada anak di bawah umur bukan merupakan hal yang baru pada saat ini. Perbuatan keji ini akan semakin berkembang apabila tidak dihadapi dan diselesaikan secara hukum yang tegas dan adil. Oleh karena itu dibutuhkan komitmen negara mencari solusi atas persoalan yang sudah lama mewabah seperti ini agar tidak terjadi lagi motif kekeresana seksual yang lainnya bagi generasi bangsa Indonesia. Disisi lain peran orang tua dalam membimbing anak-anaknya dibutuhkan dengan segala macam cara untuk menghindari jatuhnya korban kekerasan seksual. Wallahu ‘Alam bi al-Shawaab